Sabtu, 25 Desember 2010

NASEHAT PELUKIS “MOOI INDIE” KETURUNAN SEMARANG DAN KARYANYA TENTANG ALAM MINANG

Ditulis Haslizen Hoesin dan Tarmizi Firdaus

Pribadi Yang Unik

Pada suatu hari di jalan Paseban (sekarang Jln Perintis Kemerdekaan), berhadapan dengan bioskop Eri (sebelunya bernama Rex) dan kantor Kehutanan, dihadapan bangunan lama, seorang anak kecil tertabrak sepeda. Orang-orang ramai berkerumun, mereka menyalahkan si pengendara sepeda, gara-gara anak kecil tertabrak. Ada yang menuding-nuding, ada yang memaki. Si pengendara sepeda lebih banyak diam. Bagaimana dia mau membela diri, orang sebegitu banyak. Biasanya, kalau ada anak kecil tertabrak, pastilah orang dewasa yang disalahkan. Bagaimana menyalahkan anak kecil yang belum mengerti apa-apa? Wajah penabrak semakin pucat, keringatnya mengalir.

Tiba-tiba, di tengah orang banyak itu muncul orang tua. Orang tua itu membawa sebuah gelas berisi air minum. Disodorkan air minum kepada pengendara sepeda, sambil berkata: “Saudara pasti haus, minum dulu, istirahat dulu”. Orang-orang yang berkerumun terheran-heran, mengapa orang tua itu baik benar. Lebih heran lagi, yang tertabrak itu adalah cucunya sendiri! Seharusnya, dialah yang paling galak kepada si pengendara sepeda. Tetapi tidak! Bahkan sempat-sempatnya dia menawarkan air minum dan menenangkan penabrak itu.

Siapakah orang itu? Orang tua itu bernama Wakidi. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Wakidi adalah pribadi yang unik. Beliau sangat sederhana dan bersahaja.

Masa Kecil, Sekolah Dan Mengajar

Wakidi lahir di Plaju Palembang Sumatera Selatan, menurut beberapa teman menyebutkan tahun 1889. Orang tua Wakidi berasal dari Semarang. Meninggal di Bukittinggi 1979. Meninggalkan dua istri dan 12 anak. Putra pak Wakidi yang mengikuti jejak beliau adalah Idran. Irdan tamatan Seni Rupa IKIP (sekarang UNP-Padang) dan kini mengabdikan diri di almamaternya. Karya-karya tidak jauh berbeda dengan bapaknya, Wakidi.

Wakidi mulai melukis sejak usia 10 tahun. Semasa kecil senang menggambar ulang karya-karya Raden Saleh Bustaman yang diperoleh melalui buku-buku, majalah atau foto-foto. Inilah yang menyebabkannya akrab dengan dunia seni lukis. Wakidi mendapat pendidikan seni lukis di Kweekshool Bukittinggi (terkenal juga dengan Sekolah Normal atau Sekolah Raja) dan sempat belajar dengan pelukis Belanda bernama Van Dick di sekolah tersebut. Setelah selesai, kemudian menjadi guru di almamaternya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Wakidi). Pernah pula menetap dan mengajar di INS Kayutanam pimpinan Mohammad Syafei. Sesudah kemerdekaan mengajar di SMA Landbouw Bukittinggi.

Lukisan Wakidi

Dalam catatan seorang mahasiswa senirupa, karya-karya lukisan Wakidi yang mengambil tema-tema pemandangan alam Ranah Minang, telah dimulai sejak pelukis ini menggali ilmu di Kweekshool. Banyak muncul lukisan-lukisan pemandangan saat itu khas Minangkabau. Oleh karena itulah pada masa tersebut, Wakidi lebih dikenal sebagai pelukis Mooi Indie (Hindia Molek), yang memiliki kecendrungan untuk mengungkap obyek karya pada hal-hal yang romantik dengan alam. Wakidi tidak sendirian dengan corak Mooi Indie. Dia adalah satu diantara tiga pelukis Naturalistik Indonesia yang terkemuka di zamannya. Pelukis lain itu adalah Abdullah Surio Subroto (1879-1941) (ayah dari Basuki Abdullah) dan Pirngadie (1875-1936). (http://id.wikipedia.org/wiki/Wakidi.)

Lukisan Wakidi dibuat dari berbagai media seperti cat minyak, cat air dan sketsa tinta “cina”. Lukisan yang cukup terkenal diantara lukisan-lukisannya adalah cat minyak berjudul “Baralek” dan “Ngarai Sianok”, cat air seperti “Mahat”, “Pemandangan di Payokumbuah”, “Kehidupan Di Kaki Gunung Marapi”, “Danau Maninjau” dan “Rumah Bagonjong” yang begitu rinci dan menawan. (Muharyadi, 2005. SMKN 4 Padang)

Beliau banyak berkarya, hampir semuanya dikoleksi orang, sehingga Wakidi tidak pernah mengadakan pameran lukisan. Karya-karya beliau banyak dikoleksi oleh istana keperesidenan dan sejumlah tokoh penting seperti wakil presiden Indonesia, bung Hatta dan Adam Malik. Pertama kali karya Wakidi dikenal luas oleh masyarakat (publik) penikmat seni di Sumatera Barat, manakala pelukis ini pertama kali memamerkan tidak kurang dari 15 karya tahun 1920 di Bukittinggi.

Dibalik pro-konta kehadiran Wakidi di zamannya, kehadiran Wakidi dalam peta sejarah seni lukis di tanah air, sebenarnya tidak dapat disingkirkan begitu saja. Beliau merupakan penggalan sejarah seni lukis modern di Indonesia setelah era Raden Saleh Bustamam. Bahkan tidak sedikit pendapat pengamat seni di tanah air menyebutkan bahwa karya-karya lukis di zaman Hidia Belanda, termasuk Wakidi di dalamnya yang memulai dan menstimulasi lahir generasi S Soedjono, Hendra Genawan, Affandi dll.

Tentang lukisan Wakidi, mahasiswa senirupa (Fes), berkata: “Alangkah bahagianya, ketika suatu kali saya menonton lukisan internasional di Jakarta, saya melihat lukisan Wakidi dipajang dalam satu ruang dengan Picasso dan pelukis-pelukis kelas dunia lainnya. Bahagia dan senang!”

Menetap Di Daerah

Saat perang kemerdekaan berkecamuk di Ranah Minang, Wakidi memilih menetap di INS Kayutanam, pimpinan Mohammad Syafei. Setelah kemerdekaan RI banyak tawaran yang datang kepada Wakidi. Di antaranya dari Abu Hanifah sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran menawari menjadi kepala Jawabatan Kebudayaan, bahkan Presiden RI Soekarno pernah menawarkan kepada Wakidi sebagai pelukis Istana. Semua di tolak secara halus dengan alasan banyak menyita waktu untuk melukis. (Muharyadi, 2005. SMKN 4 Padang)

Wakidi yang lebih suka menetap di daerah, tidak seperti pelukis lain lebih suka di Jawa, pantas untuk dikenang sebagai tokoh, bahkan maestro dalam konstelasi seni rupa Sumatera Barat. Wakidi telah menciptakan sejarah sendiri di ranah kebudayaan Minang bahkan di Indonesia. Dalam konteks seni lukis dengan corak naturalistik yang menggali alam Minang. Hal ini lah yang menjadikan Wakidi sangat membumi dengan lukisan-lukisannya. Maka Wakidi dan alam tidak bisa dipisahkan karena alam adalah kehidupannya.

Selanjutnya baca pada “blog Bukik Ranah Ilmu”

Senin, 10 Mei 2010

SEKILAS PENDIDIKAN MENENGAH DI BUKITTINGGI

Ditulis Oleh Haslizen Hoesin

Mungkin para alumni siswa SMA Negeri di Bukittinggi tidak banyak yang mengetahui bahwa SMA I Lanbouw, SMA II Birugo dan SMA III Aua Kuniang awal sejarahnya di mulai di gedung “rumah baca” yang terletak di samping jalan Panorama dan Kantor Asisten Residen. Gedung ini balenggek (berlantai dua). Lantai bawah ruangan untuk belajar, lantai atas digunakan untuk rapat oleh pemerintah Belanda (Zulqayyum). Sekolah itu disebut Normal School (Sekolah Normal).

Sekolah Normal (Normal School) di Bukittinggi di dirikan melalui “decrite” pemerintah Belanda pada tanggal 1 April 1856. Dalam bahasa Belanda Sekolah Normal sebut Kweekschool (Sekolah Guru). Asisten residen Solok, Van Ophuijzen dipindahkan ke Bukittinggi bertugas sebagai pengawas umum Sekolah Normal tersebut, termasuk kurikulumnya. Kegiatan sehari-hari sekolah diawasi oleh kepala sekolah bernama Abdul Latif berasal dari Kotogadang (Gaves dan Azizah). Sekolah Normal didirikan untuk mengatasi pegawai Belanda.

Bila disebut Van Ophuijzen, sebagian besar orang akan kenal nama tersebut. Lewat sekolah ini Ophuijzen di bantu Abdul Latif mengembangkan tradisi keilmuan di Ranah Minang. Masih ingatkan anda dengan ejaan Van Ophuijzen, disinilah ejaan itu di munculkan dan dikembangkan. Sekarang kita kenal adalah ejaan yang popular disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Selanjutnya baca pada Bukik Ranah Ilmu, http//lizenh.wordpress.com

PESAN PAK SJAIFUL JAZAN DI TAHUN 73

Ditulis Oleh Haslizen dan Syaiful Abbas

Pendidikan

Pak Saiful lahir di Rejai tahun 1913, Tajungpinang. Pandidikan yang ditempuh, HIS di Tanjungpinang, MULO di Bukittinggi, PHS (Prins Hendrik School) di Jakarta. Di PHS ini bahasa pangantar disekolah bahasa Belanda, bahasa wajib Parancis dan Jerman.
Selesai pendidikan bekerja di Jakarta. Saat perang kemerdekaan pulang kekampung. Beliau sempat pula menyeludupkan senjata dari Singapore saat perang kemerdekaan.

Mengajar dan Semangat

Tahun 1949 Pak Sjaiful mengajar di SMA Pemuda Bukittinggi. Sekolah Pemuda ini lama pendidikannya lima tahun sesudah selesai Sekolah Rakyat (setara SD sekarang). Sekolah Pemuda itu setara dengan SMP + SMA. Berhenti mengajar di sekolah Pemuda tahun1954 karena sekolah tersebut bubar.

Sejak tahun 1954 sampai terjadi PRRI bekerja di Padang (perusahaan swasta). Sesudah PRRI sampai 1980 mengajar di SMA PSM dan SMA 1B. Pak Sjaiful tidak bisa diangkat jadi pegawai negeri, karena umur sudah melebihi 40 tahun, saat mendaftar pegawai negeri. Pak Sjaiful Jazan mengajar di SMA I Landbouw bahasa Jerman dan Prancis sebagai guru honorer.
Pada tahun 1972 pak Sjaiful mengikuti pelatihan bahasa Jerman di Guthe Institute Jakarta. Tahun 1980 melatih guru bahasa Jerman.

Sesuatu yang tidak dapat dipercaya bahwa pak Sjaiful bila mengajar ke SMA I Landbouw setiap hari berjalan kaki (dua kali) melitasi Ngarai Sianok. Penduduk Bukittinggi khususnya, kabupaten Agam pada umumnya, mengetahui bahwa jalan melintasi Ngarai itu melewati tangga naik-urun dan sebagian jalan mendaki-menurun. Sejak tahun 1980 bila pulang beliau tidak lagi melewati tangga dan jalan Ngarai, tapi naik angkot di depan Hotel Jogja. Ya, ya……., sungguh hebat semangat pak Sjaiful, patut diteladani.

Pak Sjaiful Jazan wafat 18 Juli 2006 pukul 02.00. Meninggalkan seorang istri asal Kotogadang, nama baliau Nurana dan tiga orang anak yaitu Qamaruzzaman (MT. Ir.), Khalilul Rahman (Prof. dr. SPM (K)) dan Khairul Husni (MBA).

Selanjutnya baca pada Bukik Ranah Ilmu, http://lizenhs.wordpress.com